Pada
prinsipnya, dalam setiap shalat, dianjurkan untuk melaksanakannya di awal
waktu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits mengenai keutamaan shalat di
awal waktu:
Dari Ali,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda, “Perhatikanlah tiga perkara,
janganlah engkau akhirkan shalat jika telah datang waktunya, jenazah jika telah
tiba & (menikahi) seorang janda jika engkau telah merasa cocok (sepadan).”
(HR At Tirmidzi 156, hasan gharib)
Disebutkan
dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, “Amal
apakah yang paling dicintai Allah?” Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab dengan sabdanya:
Menurut
Ibnu Hajar Al Asqalani, shalat pada waktunya adalah shalat di awal waktunya.
Imam Asy
Syafi’i berkata, “ Shalat di awal waktu adalah sesuatu yang utama. Dan sesuatu
yang menunjukkan keutamaan shalat di awal waktu dari yang akhir, adalah
memilihnya Nabi, Abu Bakar, dan Umar. Mereka selalu mengerjakannya di awal
waktu. Dan mereka tak memilih kecuali sesuatu yang utama. Mereka tak pernah
meninggalkan yang utama, dan mereka selalu melaksanakan shalat di awal waktu.”
Namun,
khusus untuk Shalat Isya’, terdapat pengkhususan sunnahnya melaksanakan shalat
tersebut lebih akhir.
Dalil Nash
Dari
Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Suatu malam Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu sebagian besar malam
dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau
bersabda: “Sungguh ini adalah waktu Shalat Isya’ yang tepat, sekiranya aku
tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim no. 638)
Dari
Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam biasa mengakhirkan Shalat Isya’.” (HR. Muslim no. 643)
Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam
sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan
anak-anak telah tertidur.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada
seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian.” Rawi
berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu
kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya
tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang
awal.” (HR Al Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Dari
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata:
“Kami
menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah),
ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan
keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah
shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang
mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di
waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi
keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat
sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, shahih)
Dari
Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, ia mengabarkan:
“Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat
panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih,
shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau
mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka
(para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun
menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka
terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya.” (HR Al Bukhari no. 565 dan
Muslim no. 1458)
Pendapat Fuqaha
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah disebutkan sebagi berikut:
Mayoritas
ulama fuqaha (ahli fiqh) yang terdiri dari kalangan Hanafiyah, Hanabilah, dan
satu pendapat dari Syafi’iyah (pada qaul jadid) mengakhirkan shalat isya hingga
sepertiga malam hukumnya disunnahkan, berkata Az Zaila’i banyak hadits
menerangkan tentang kesunnahannya, ini adalah pendapat paling dominannya ahli
ilmu dari para shahabat dan tabi’in, diantara hadits yang menunjukkannya adalah
sabda Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat Abu Hurairoh
Radhiyallahu ‘Anhu, “Andaikan aku tidak menghawatirkan memberi kesulitan pada
umatku, niscaya aku perintahkan pada mereka untuk mengakhirkan Shalat Isya’
hingga sepertiga malam atau separuh malam.” (HR At Trmidzi I/310-312, Ibnu
Maajah I/226, Ahmad bin Hanbal II/250, Hakim dalam Al Mustadrak-nya I/146)
Kalangan
Hanafiyah memberi batasan kesunnahan mengakhirkan Shalat Isya’ di atas pada
saat musim dingin, sedang saat musim panas justru disunnahkan mengawalkan
Shalat Isya’. (HasyiyahIbnu ‘Abidin I/146)
Kalangan
Malikiyah memilih yang lebih utama bagi orang yang shalat sendirian atau
berjamah bersama orang-orang yang tidak bisa dinanti kedatangannya mengawalkan
shalat, walaupun itu Shalat Isya’ setelah yakin masuk waktunya (Syarh Al
Kabir maa Hasyiyah Ad Dasuqi I/180)
Dan tidak
dianjurkan mengakhirkan Shalat Isya’ hingga sepertiga malam terakhir kecuali
bagi orang yang memiliki kesibukan penting, seperti menjalankan pekerjaannya,
atau karena ada udzur (halangan) seperti sakit dan lain-lain. Hanya saja
menurut mereka (kalangan Malikiyah), dianjurkan mengakhirkan Shalat Isya dalam
tempo waktu sedikit guna mengumpulkan orang yang hendak jamaah. (Al Fawakih
Ad Dawani I/197)
Keutamaan
menjalankan shalat di awal waktu, meskipun Shalat Isya’ ini, juga merupakan
pendapat Syafi’iyah pada qaul lainnya (qaul qadim), An Nawawi berkata “Yang
lebih utama dari dua qaul (pendapat Syafi’i ini) menurut kalangan Syafi’iyah
adalah mengerjakan Shalat Isya’ di awal waktu, hanya saja keutamaan
mengakhirkan Isya’ memang memiliki dalil yang kuat (Mughni Al Muhtaj I/125, 126 dan Al Majmu
li An Nawawi III/57)
Jama’ah ataukah Sendiri
Jika
seseorang dihadapkan pada pilihan melaksanakan Shalat Isya’ secara sendirian di
waktu yang afdhal atau berjamaah di awal waktu, maka penulis Syarhul Mumti’ berpendapat
bahwa yang lebih utama adalah shalat bersama jamaah. Karena hukum berjamaah ini
wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi
tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib.
Namun,
jika seseorang dihadapkan pada pilihan melaksanakan Shalat Isya’ berjamaah di
akhir waktu atau sendirian di awal waktu, maka yang lebih utama adalah
melaksanakannya secara berjamaah di akhir waktu jika tidak ada kepentingan
lain.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakhirkan Shalat Isya’ sampai pertengahan
malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan
mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian
menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR Al Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Batas Waktu Shalat Isya’
Para
ulama sepakat bahwa waktu dimulainya Shalat Isya’ adalah hilangnya mega merah
di langit barat. Namun, mereka berselisih tentang batas akhir waktu Shalat
Isya’. Berikut beberapa pendapat mengenai batas akhir waktu Shalat Isya’:
1. Saat
Terbit Fajar Shadiq
Waktu
akhir shalat Isya’ adalah ketika terbit
fajar shadiq (masuknya Shalat Shubuh) tanpa ada perselisihan antara Imam Abu
Hanifah dan pengikut ulama dari ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga jadi
pegangan ulama Syafi’iyah. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, Atha`,
Thawus, dan Ikrimah juga berpendapat seperti ini. Demikian juga Imam An Nawawi.
Sebagian kecil ulama Malikiyah juga berpendapat seperti ini.
Dari Abu
Qatadah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang
ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan
meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu
shalat berikutnya.” (HR. Muslim no. 681)
2.
Sepertiga Malam Awal
Inilah
pendapat yang masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Ini adalah pendapat Umar
bin Al Khaththab, dan Abu Hurairah dari kalangan sahabat, serta Umar bin
Abdil Aziz.
Dalam
hadits, disebutkan mengenai Shalat Isya’ yang dilaksanakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali. Ia Shalat
Zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal
tali sandal. Ia Shalat Ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan
bendanya. Ia Shalat Maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia
Shalat Isya’ bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia Shalat Fajar bersamaku
ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa. Maka tatkala
keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam Shalat Zhuhur saat bayangan
benda sama dengan bendanya. Ia Shalat Ashar bersamaku saat bayangan benda dua
kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia
Shalat Isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia Shalat Fajar
bersamaku dan mengisfarkannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata,
“Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga
berada di antara dua waktu yang ada.” (HR. Abu Dawud no. 393, hasan shahih)
3.
Membagi Malam Jadi Dua Waktu
Waktu
akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam
pertama, ini disebut waktu ikhtiyari (waktu
pilihan). Sedangkan waktu akhir shalat Isya’ yang bersifat darurat (disebut
waktu dharuri) adalah
hingga terbit fajar. Waktu darurat ini misalnya ketika seseorang sakit lantas
sembuh ketika waktu darurat, maka ia masih boleh mengerjakan Shalat Isya’ di
waktu itu. Begitu pula halnya wanita haidh, wanita nifas ketika mereka suci di
waktu tersebut. Inilah pendapat ulama Hanabilah.
4. Tengah
Malam
Yang
berpendapat demikian adalah Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Abu
Tsaur, Ashhabur Ra’yi, Ahmad, Al Bukhari, Ibnu Hazm, dan Imam Asy Syafi’i dalam
pendapatnya yang terdahulu.
Dari
Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang waktu
shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama
belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu sholat dzuhur apabila matahari
telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu
Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh
(tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah
tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu Shalat Isya’ adalah sampai
tengah malam.” (HR.
Muslim no. 1388)
sumber: http://www.fimadani.com/hukum-mengakhirkan-waktu-shalat-isya-adalah-sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AHA..